Senin, 15 Februari 2010

Aduh, Cengengnya Pengusaha Kita!


Oleh : Lie Charlie, Pegawai Swasta di Bandung

Kolom Refleksi, Tabloid KONTAN Edisi 15-21 Februari 2010



Tak terdengar suara lain kecuali rengek cengeng pengusaha kita yang ketakutan terhadap berlakunyua free trade agreement (FTA) antara ASEAN dan China. Beum apa-apa, para pengusaha sudah mengancam-ancam. Mau menutup pabriklah, mau melakukan PHK-lah, mau minta pemerintah bertanggungjawablah dan buntutnya minta subsidi.

Kalau tekstil China bisa lebih murah 10% dibandingkan produksi Leuwi Gajah, bukankan kita patut bersyukur? Berarti selama ini pemilik pabrik tekstil lokal menghisap darah rakyat dengan mengambil untung sangat besar! Mereka sudah terlanjur kaya dan senang. Silakan pemerintah memilih; mau mendengarkan keluhan para pengusaha atau membiarkan rakyat menikmati barang impor murah dari China.

Tidakkah kita tahu, dibalik keluh kesah itu sebenarnya berapa pabrik tekstil masih berproduksi siang dan malam memenuhi permintaan pasar? Coba saja lakukan investigasi di Bandung. Tentu saja Pak Akuang bilang sudah sekarat kalau ditanya sementara dibelakangnya pabriknya beroperasi 24 jam. Benar, ada “pabrik” yang sudah mau mati yaitu beberapa di Majalaya yang mengoperasikan mesin tahun 1940-an dan jalan hanya pada haris senin dan kamis. Itupun kala ada benang dan solar.

Lucunya lagi, kita sering membandingkan sepatu hasil sentra industri di cibaduyut dengan sneakers buatan pabrik China dan menyimpulkan bahwa industri alas kaki kita bisa bangkrut kalau harus bersaing dengan China. Mana bisa begitu? Kalau mau membuat perbandingan, lakukanlah secara proporsional. Sama dengan tekstil, industri alas kaki kita juga cengeng. Ingat enggak ada pabrik sepatu yang tutup karena tidak mendapat order lagi dan minta karyawannya berdemonstrasi ke kantor perwakilan perusahaan prinsipal.

Banyak Kelemahan Kita
Lebih baik kita mandi dulu dan duduk dengan manis untuk berpikir. Mengapa kita kalah menandingi China? Pertama, banyak pungli. Sepuluh dari sepuluh pengusaha pasti mengaku pusing karena terpaksa melayani pungli.

Kedua, bahan baku impor mahal. Industri yang banyak mempergunakan bahan baku impor sudah pasti kalah bersaing.

Ketiga, bunga pinjaman bank tinggi. Paling murah 18% per tahun, sedangkan di China kurang dari 10%. Keempat, buruh kita demo melulu. Di China buruh relatif homogen.

Kelima, kalau beli mesin baru, Pak Chandra di Rancaekek ingin kembali modal dalam 1 tahun dengan alasan keamanan. Sedangkan Mr. Lim Kong Chang di Guangdong mengulurnya sampai 10 tahun. Jelas, dong, Pak Chandra jadi harus menjual ember plastik seharga Rp10.000,- sebuah, sementara harga CNF tanjung priok ember plastik buatan The Red Stars Plastic Industry cuma US$10 sen.

Keenam, pengusaha China berproduksi dengan mesin murah buatan sendiri, sedangkan pengusaha kita mengimpor mesin produksi dengan membayar dalam dolar.

Ketujuh, pengusaha kita pilih-pilih dalam berproduksi, sedangkan pengusaha China siap memproduksi tanpa ragu. Coba pergi ke pabrik mainan anak-anak di Tangerang dan pesan dibuatkan sejenis mainan, pasti akan ditolak. Pabrik China memproduksi saja dulu, lain-lain hal dicari jalan keluarnya belakangan. Tak heran banyak sekali mainan anak produksi China yang sangat kampungan pun beredar dipasar. Kedelapan, prosedur ekspor di China amat ringkas dan cepat. Pemerintah bahkan menyiapkan sebuah meja di pabrik yang akan mengekspor, lengkap dengan stempel legalisasi dan segala tetek bengeknya sehingga kontainer bisa segera diangkut ke pelabihan. Biaya ekspor minimal. Disini? Tanya saja kepada pengusaha yang biasa mengekspor.

Jadi pantaskah kita berkeluhkesah? Negara ASEAN lain tidak terdengar mengeluh atau menjerit etakutan. Jika sampai ada industri dalam negeri yang gulung tikar daalam waktu tiga bilan setelah berlakunya FTA,itu pasti bukan terkena dampak, melainkan akal-akalan pemilik pabrik memanfaatkan situasi saja. Mana ada usaha yang tutup dalam tiga bulan setelah berdiri 15 tahun?

Kita tak perlu berdiri menantang barang China. Kita bisa memilih bersaing dalam banyak jenis produk lain selain ember plastik, mainan anak-anak, alat bercocok tanam, barang elektronik, dan benda keramik. Kita punya peluang, antara lain dalam sektor makanan dan minuman. Setelah oknum penanggung jawab sebuah pabrik susu China memasukkan melamin kedalam produknya guna menghasilkan indikasi kandungan protein lebih, sebenarnya makanan dan minuman produksi China sudah tidak ada harapan memperoleh pasar diseluruh dunia. Pada sektor kerajinan tangan, kita juga mempunyai kesempatan bagus. Kita memiliki tradisi menenun dan menganyam yang tidak dimiliki bangsa lain. Jadi seyogyanya jangan dipandang sebagai ajang persaingan melulu. Jangan dianggap sebagai arena bertarung. FTA lebih bijaksana disyukuri sebagai sarana mengembangkan cakrawala.


Tidak ada komentar: